menu

Sabtu, 06 April 2013

PIALA TERBESAR YANG PERNAH KUDAPAT

Ini kudapat ketika di SMA.
Hari itu hari Sabtu. Aku duduk santai sambil mengerjakan pesanan lukisan wall di ruang tamu. Hari memang sangat cerah, entah ada apa dengan hari itu. Tiba-tiba aku mendengar suara handphone 'rongsokan'ku bergetar. Ada nomor baru tertera di layar hapeku. Dia memanggil. Aku bingung. Perasaan yang selalu muncul saat aku menerima telepon dari nomor baru yang belum kuketahui siapa diseberang sana. Kutengok kanan kiri, berharap ada ibuku yang mau menerimanya. Itu selalu kulakukan. Hanya saja, hari itu aku sedang sendiri di dalam rumah. Ibu sepertinya ke pasar. Sedangkan bapakku mengurusi laporan keRTannya. Ditambah adik-adikku sedang main di rumah bibi. Ada nenek kesayanganku sih di dalam. Tapi tak mungkin juga beliau yang kuminta menerima telepon. Akhirnya dengan keberanian yang tidak terlalu besar aku memencet tombol hijau di hapeku tanda aku menerima panggilan itu.
"halo, selamat pagi"
"ya? selamat pagi", jawabku
"benar ini dengan Winda Diana?"

AKU SEMANJA ADIKKU DULU

Namaku Winda Diana Sari. Semua orang terbiasa memanggilku Winda. Dilahirkan secara normal oleh seorang wanita ‘cantik’ bernama Hasanah. Ya, nama ibuku hanya satu kata. Sama halnya dengan nama bapakku. Toyan. 04 Juni 1994. Itulah tanggal aku dilahirkan. Menjadi anak pertama dari pasangan bapak-ibuku. Tentu soal perhatian, tak perlu ditanya. Sebagai anak pertama, aku selalu di’manja’. Perhatian kedua orang tuaku hanya terfokus padaku. Mungkin itulah yang membuatku tak pernah merasakan kekurangan perhatian atau kasih sayang dari seorang ibu-bapak. Namun, setelah usiaku menginjak 6 tahun, rupanya aku harus belajar merelakan perhatian orangtuaku terbagi. Karena tepat tanggal 08 Juni 2000 adik pertamaku lahir. Cowok. Namanya Ilma Maulana Fathurrozi. Sejak itu hari-hariku diramaikan dengan tangis dan rengekan balita. Aku tak ingat seluruhnya memori yang dulu. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa adikku juga membutuhkan perhatian lebih dari orangtuaku. Hingga di penghujung SD, aku mulai sadar. Melihat dan mengingat rengekan adikku, melempar otakku ke masa kecil dulu. Mungkin aku semanja dia dulu. Bahkan lebih.

Salam Sapa Dariku


Hai..
Lama rasanya tulisanku tidak kumunculkan di blog ini. Sebelumnya ku ucapkan selamat datang kembali pada diriku sendiri. Semoga di hari-hari selanjutnya bisa kusempatkan menulis lagi. Aamiin. Hm aku baru sadar, semenjak blog ini resmi ku publikasikan, rasanya aku belum pernah memperkenalkan diriku. Kali ini, ingin rasanya ku memulai semua dari awal. Kuucapkan selamat datang bagi pembaca disana, selamat membaca tulisan yang terkadang kubuat saat ngantuk, laper, atau sambil ngerjain tugas ^_^

Minggu, 10 Maret 2013

Semburan Lumpur Panas Lapindo, Bencana Alam, Ataukah Pelanggaran Etika Profesi Engineer?

         Terhitung enam tahun lebih peristiwa Semburan Lumpur lapindo terjadi. Namun permasalahannya belum terselesaikan hingga saat ini. Masih ada korban Lapindo yang belum mendapatkan kembali haknya. Siapakah yang seharusnya membayar semua ganti rugi peristiwa ini? Awalnya peristiwa ini dianggap bencana alam, karena semburan terjadi selang dua hari setelah peristiwa gempa di Jogja. Sehingga pemerintah perlu ikut andil dalam membayar ganti rugi peristiwa ini. Kita tahu bahwa dana yang digunakan pemeritah untuk mengganti rugi itu adalah dana dari APBN, dimana dana tersebut didapat dari pajak masyarakat dan lainnya. Pada intinya masyarakatlah yang membayar ganti rugi tersebut. Semburan Lumpur Lapindo tidak hanya merampas harta benda masyarakat setempat, juga merugikan seluruh masyarakat di Indonesia. Padahal analisis peristiwa tersebut tidak sepenuhnya dinyatakan sebagai bencana alam akibat pengaruh gempa Jogja. Karena setelah dilakukan beberapa kajian analisis oleh para ahli, ditemukan faktor kesalahan eksplorasi didalamnya.

Jumat, 08 Maret 2013


Duduk di depan sekre MG seolah duduk di bangku SMA. Aku rindu posisi duduk seperti ini. Dengan meja yang berantakan. Dua botol air mineral setengah penuh terpajang, lebih tepatnya berdiri kokoh sekitar 20 cm dari tangan yang sedang kugerakkan ini. Ada dodol garut di dekatnya. Entah siapa yang menaruhnya disitu. Buku warna biru yang bertuliskan “Bazaar Art Jakarta” juga tergeletak tak bernyawa di samping kiri bukuku. Ditambah gulungan kertas di atas buku biru itu, yang semakin membuat meja berantakan. Satu lagi. Posisi CPU yag menyerong membentuk sudut 45 derajat dari posisi horisontal terhadapku. Dan pada salah satu sisi yang menghadapku tertempel kertas HVS bertuliskan:
“Bro!! Aku butuh tulisanmu.
Aku ingin kau menulis dengan mesinku.
Aku rindu tulisanmu Bro!!”
(KomputerMG)