menu

Rabu, 10 Oktober 2012

7 HABITS itu SESUATU

Testimoni awal..
Seven Habits itu..SESUATU BANGET! Suatu kehormatan bagi saya, Mahasiswa Baru ITB yang diberikan kesempatan untuk membungkus hampir seluruh kegiatan yang berhubungan dengan 7 Habits ini dalam sebuah tulisan. Secara tidak langsung, telah memberi kesempatan pula bagi saya untuk mengingat seberapa besarkah pengaruh materi 7 Habits terhadap keseharian saya. Sangat besarkah? Hanya besarkah? Atau tidak terlalu besar? Atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali? Nah penerapan inilah yang akan menjadi tolak ukur untuk memastikan seberapa besar perubahan-perubahan positif yang saya alami selama mengaplikasikan 7 Habits. Terlebih sebagai mahasiswa baru, tantangan terbesar yang saya hadapi adalah mengendalikan keinginan untuk bisa menjadi “semuanya”. Karena saya masih labil dan tujuan masih berubah-ubah.  Terkadang saya ingin menjadi semua. Saya ingin terlibat dalam semua hal. Dan disaat tertentu memang keberanian itu muncul. Namun tidak jarang juga keberanian itu dikalahkan ketakutan, takut terbengkalai, dsb...
Satu kalimat bijak yang saya kutip dari Albert Einstein “suatu masalah penting yang kita hadapi tidak bisa diselesaikan dengan level pemikiran yang sama seperti kala kita memunculkan masalah itu.”
...
Nah, tulisan ini akan mengungkap sedikitnya tentang pengalaman saya dalam menerapkan 7 Habits selama kurang lebih satu bulan, sejak tanggal 27 Agustus 2012 sampai 27 September 2012. Pengalaman saya memang belum terlalu banyak, tapi cukuplah untuk mendeskripsikan bahwa saya sudah mencoba untuk menerapkan 7 Habits.
Kebiasaan 1: Be Proactive
Hm, kalau dipikir-pikir kebiasaan pertama ini sudah terlalu mendarah daging pada diri saya. Bahkan bisa dibilang saya terancam over be proactive. Ya, selama ini saya masih berpikir dua kali untuk menentukan sesuatu. Mempertimbangkan baik buruknya keputusan yang akan saya ambil. Bahkan tidak jarang karena terlalu lama berpikir, keputusan itu belum sempat diwujudkan. Itulah saya, ‘dulu’. Namun setelah mendapat materi Be Proactive, saya mulai ingin merubah sedikit paradigma berpikir saya. Sejak itu, saya membuat target untuk berpikir sebelum bertindak atau merespon sesuatu dalam waktu 2 menit. Mengapa 2 menit? Ya, 1 menit pertama untuk melihat situasi yang ada, lalu menit kedua untuk saya mempersiapkan respon apa yang ingin saya tunjukkan. Alhasil, saya berhasil membuat sedikit perubahan soal ini.

Kebiasaan 2: Begin With The End In Mind
Sesuai dengan judulnya, mulailah dengan tujuan akhir. Pada intinya akan lebih baik jika kita memiliki sebuah rencana untuk kedepan. Karena dengan rencana kita mengetahui secara pasti dan detil apa yang akan kita lakukan untuk mencapai tujuan kita serta menghindari hal-hal yang dapat menghambat tujuan kita. Kebiasaan ini telah saya terapkan. Salah satunya pada saat pergi ke sebuah market bersama teman saya. Dari rumah sudah saya rencanakan apa saja yang ingin saya beli. Saya sengaja tidak membawa uang banyak (lebih dari cukup untuk membeli kebutuhan pada saat itu). Karena saya tahu akan banyak godaan saat kita mengelilingi market itu J. Alhasil, ternyata memang benar. Saat melintasi jajaran pakaian dan jilbab, ada rasa ingin membeli di dalam hati. Namun segera saya ingat bahwa tujuan utama saya ke market bukan untuk itu J. Satu pelajaran yang saya dapat: rencana untuk sebuah tujuan itu penting!
Namun ada satu moment dimana saya gagal menerapkan kebiasaan yang satu ini. Yaitu pada saat OHU, 01 September 2012. Saat berkeliling di stand OHU, sebelumnya saya sudah merencanakan untuk mendaftar sebuah unit. Katakanlah unit A. Hanya saja, saat melewati serangkaian stand yang dinilai menarik, saya terlupa unit A. Hingga saya sadar bahwa unit yang saya (akan) ikuti lumayan banyak J jadilah rencana untuk mengikuti unit A tidak terealisasikan.

Kebiasaan 3: Put First Think First
Dahulukan yang utama. Disini saya belajar membuat skala prioritas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Termasuk memilah dan memilih kegiatan apa yang paling mendukung prioritas saya. Kebiasaan ini lumayan banyak saya terapkan di keseharian, yaitu:
Ketika seorang teman mengajak pergi jalan-jalan, dimana hari esoknya saya akan ada quiz. Dengan tanpa mengurangi rasa saling menghargai, saya berusaha menolak selembut mungkin yang saya bisa (intinya agar teman saya dapat mengerti). Sehingga pertemanan aman, dan persiapan untuk quiz pun lancar J.
Ketika saya memilih membalas sms yang menurut saya lebih penting (entah penting bagi saya ataupun bagi si pengirimàmisal berupa pertanyaan tentang mata kuliah dan sebagainya). Jadi sms yang kurang penting (dalam artian tidak terlalu membutuhkan jawaban sesegera mungkin) menunggu waktu yang tepat untuk membalasnya. Memang sih sederhana jika dipikir-pikir. Tapi ternyata sangat berguna bagi saya. Karena coba kita bayangkan, ketika ada teman kita (teman akrab) yang mengirim sms sekadarnya seperti “hello wind..”, “hei wind..”, dan pada saat itu kita sedang disibukkan oleh suatu pekerjaan. Jika kita membalas dengan hanya sekadarnya pula, rasanya kurang baik juga kan. ujung-ujungnya percakapan garing abis, hanya seputar ‘ya..” “hei juga..” atau apalah yang kurang berwarna J. Bukankah si penerima pesan juga bawaannya uring-uringan? Jadi lebih baik menunggu waktu yang lebih tepat agar percakapan kita dengan teman kita lebih berwarna (meski hanya lewat pesan singkat saja)

Kebiasaan 4: Think Win-Win
Berpikir menang-menang. Pada intinya kita akan lebih puas jika bersama-sama. Karena apa sih yang lebih membahagiakan jika orang lain bahagia saat kita bahagia? (dalam kehidupan bermasyarakat, bukan pada saat lomba J). Nah, di kebiasaan ini sebenarnya kita diajarkan untuk tidak hanya memikirkan kemenangan diri sendiri saja, namun juga orang lain. Walau bagaimanapun juga, kita toh makhluk sosial, bukan? Penerapannya saya lakukan ketika saya memilih untuk membawa payung atau ponco. Keduanya sama-sama melindungi saya dari hujan. Hanya saja yang membuat mereka berbeda adalah muatan yang dilindungi. Kalau saya membawa payung, bisa jadi saya berada pada kondisi yang banyak orang. Rasa tidak enak pasti akan muncul ketika saya memakai payung sedangkan yang lainnya tidak. Akhirnya saya memutuskan untuk membawa ponco. Karena bila satu kehujanan, yang lainnya juga. Bila yang lainnya aman dari hujan, maka yang lain juga demikian J.

Kebiasaan 5: Seek First To Be Understad Then To Understood
Ya, memahami terlebih dahulu baru dipahami. Hal ini sesuai dengan sebuah kalimat bijak: jika kita ingin dihargai, maka hargailah dulu orang lain. Sama halnya dengan, jika kita ingin diingat orang lain, maka ingatlah dulu orang lain. Jadi pada intinya kita belajar saling memahami dan mengerti orang lain baru kita lah yang akan dipahami dan dimengerti oleh mereka. Dan itu tanpa kita minta.
Salah satu penerapan dari kebiasaan ini adalah menjadi pendengar yang baik bagi orang lain. Ketika itu teman saya, katakanlah si B. Dia sedang dipusingkan dengan dua pilihan. Datang ke unit ataukah mengerjakan tugas yang belum selesai. Saya hanya bisa memberi saran dengan keuntungan dan kerugiannya. Jika datang unit, maka dia akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengerjakan tugas. Namun, jika merasa tugas itu mampu diselesaikan dalam waktu relatif singkat, maka datang ke unit pun tak jadi masalah. Itulah saran yang saya berikan.
Satu lagi. Dari kebiasaaan ini saya belajar berkomunikasi yang baik dengan orang lain. Sehingga saya dapat mengatasi hambatan dalam berkomunikasi, seperti; memikirkan hal lain saat orang lain berbicara dengan kita, sibuk dengan handphone saat orang lain ingin berbicara dengan kita, bahkan terkadang mereka bertanya pun tidak kita hiraukan. Jadi saya mencoba menghindari hal-hal kecil namun menjadi penghambat bagi kita untuk memahami orang lain.

Kebiasaan 6: Mewujudkan Sinergi
Nah di kebiasaan ini sebenarnya secara tidak langsung kita harus memegang kebiasaan 4 dan 5. Karena untuk mewujudkan sinergi kita harus memiliki perilaku menang-menang, memahami terlebih dahulu sebelum dipahami, dan mempercayai bahwa bersama-sama menghasilkan lebih banyak dibanding sendirian. Bukti nyata tindakan saya dalam menerapkan kebiasaan ini yaitu ketika seorang dosen memberi tugas pada kelompok saya untuk membuat sebuah laporan. Dulu kami berpikir bahwa satu orang saja cukup untuk mencari bahan. Namun kami mencoba merubahnya. Sekaligus untuk menerapkan kebiasaan 6 ini. Jadi setiap anggota kelompok kami akan mencari data masing-masing, lalu akan digabung menjadi satu. Alhasil, memang lebih banyak dan bervariasi. Itulah yang membuat banyak ide yang tertuang sehingga tugas kelompok terasa asyik J


Kebiasaan 7: Asahlah gergaji
Mungkin sedikit implisit makna kalimat itu. Namun setelah dipiki-pikir, sebenarnya dari kebiasaan 7 ini kita belajar membaharukan diri. Mulai dari tubuh, pikiran, hati dan jiwa kita. Kita perlu memberi warna baru dalam hidup kita agar tidak terasa monoton. Karena kita tahu, monoton itu limit mendekati membosankan J
Bentuk penerapan saya dari kebiasaan 7 ini sederhana saja. Mengingat stasus saya sebagai mahasiswa baru, pembaharuan-pembaharuan yang saya lakukann lebih kepada bagaimana mengasah kemampuan akademik: mengubah paradigma belajar. Dulu di SMA terbiasa mendapat PR dari guru. Sekarang sepertinya saya harus mencari PR sendiri. Guru bisa menjadi dosen, namun dosen bukanlah guru J. Kedua, saya membaharui kebiasaan menyenangkan selain belajar, yaitu ber-unit, mengasah keterampilan mulai dari berbicara (meski terkadang susah), berkomunikasi dengan orang lain. Satu lagi. Saya membaharui pengetahuan-pengetahuan umum saya. Seperti mengetahui info-info seputar kampus atau di fakultas. Hal ini saya lakukan agar saat berkomunikasi dengan orang lain dapat selaras ;) kasarannya sih supaya nyambung aja. J
Nah, itulah perjalanan saya dalam menerapkan 7 Habits selama 30 hari. Saya ingin menjamin bahwa kebiasaan itu akan diusahakan untuk tetap berjalan, mengingat manfaat yang saya dapatkan dari kebiasaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar