Testimoni awal..
Seven
Habits itu..SESUATU BANGET! Suatu kehormatan bagi saya, Mahasiswa Baru ITB yang
diberikan kesempatan untuk membungkus hampir seluruh kegiatan yang berhubungan
dengan 7 Habits ini dalam sebuah tulisan. Secara tidak langsung, telah memberi
kesempatan pula bagi saya untuk mengingat seberapa besarkah pengaruh materi 7
Habits terhadap keseharian saya. Sangat besarkah? Hanya besarkah? Atau tidak
terlalu besar? Atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali? Nah penerapan inilah
yang akan menjadi tolak ukur untuk memastikan seberapa besar
perubahan-perubahan positif yang saya alami selama mengaplikasikan 7 Habits.
Terlebih sebagai mahasiswa baru, tantangan terbesar yang saya hadapi adalah
mengendalikan keinginan untuk bisa menjadi “semuanya”. Karena saya masih labil
dan tujuan masih berubah-ubah. Terkadang
saya ingin menjadi semua. Saya ingin terlibat dalam semua hal. Dan disaat
tertentu memang keberanian itu muncul. Namun tidak jarang juga keberanian itu
dikalahkan ketakutan, takut terbengkalai, dsb...
Satu
kalimat bijak yang saya kutip dari Albert Einstein “suatu masalah penting yang
kita hadapi tidak bisa diselesaikan dengan level pemikiran yang sama seperti
kala kita memunculkan masalah itu.”
Nah,
tulisan ini akan mengungkap sedikitnya tentang pengalaman saya dalam menerapkan
7 Habits selama kurang lebih satu bulan, sejak tanggal 27 Agustus 2012 sampai
27 September 2012. Pengalaman saya memang belum terlalu banyak, tapi cukuplah
untuk mendeskripsikan bahwa saya sudah mencoba untuk menerapkan 7 Habits.
Kebiasaan 1: Be Proactive
Hm,
kalau dipikir-pikir kebiasaan pertama ini sudah terlalu mendarah daging pada
diri saya. Bahkan bisa dibilang saya terancam over be proactive. Ya, selama ini
saya masih berpikir dua kali untuk menentukan sesuatu. Mempertimbangkan baik
buruknya keputusan yang akan saya ambil. Bahkan tidak jarang karena terlalu
lama berpikir, keputusan itu belum sempat diwujudkan. Itulah saya, ‘dulu’.
Namun setelah mendapat materi Be Proactive, saya mulai ingin merubah sedikit
paradigma berpikir saya. Sejak itu, saya membuat target untuk berpikir sebelum
bertindak atau merespon sesuatu dalam waktu 2 menit. Mengapa 2 menit? Ya, 1
menit pertama untuk melihat situasi yang ada, lalu menit kedua untuk saya mempersiapkan
respon apa yang ingin saya tunjukkan. Alhasil, saya berhasil membuat sedikit
perubahan soal ini.
Kebiasaan 2: Begin With The End In Mind
Sesuai
dengan judulnya, mulailah dengan tujuan akhir. Pada intinya akan lebih baik
jika kita memiliki sebuah rencana untuk kedepan. Karena dengan rencana kita
mengetahui secara pasti dan detil apa yang akan kita lakukan untuk mencapai
tujuan kita serta menghindari hal-hal yang dapat menghambat tujuan kita. Kebiasaan
ini telah saya terapkan. Salah satunya pada saat pergi ke sebuah market bersama
teman saya. Dari rumah sudah saya rencanakan apa saja yang ingin saya beli.
Saya sengaja tidak membawa uang banyak (lebih dari cukup untuk membeli
kebutuhan pada saat itu). Karena saya tahu akan banyak godaan saat kita
mengelilingi market itu J.
Alhasil, ternyata memang benar. Saat melintasi jajaran pakaian dan jilbab, ada
rasa ingin membeli di dalam hati. Namun segera saya ingat bahwa tujuan utama
saya ke market bukan untuk itu J.
Satu pelajaran yang saya dapat: rencana untuk sebuah tujuan itu penting!
Namun
ada satu moment dimana saya gagal menerapkan kebiasaan yang satu ini. Yaitu
pada saat OHU, 01 September 2012. Saat berkeliling di stand OHU, sebelumnya
saya sudah merencanakan untuk mendaftar sebuah unit. Katakanlah unit A. Hanya
saja, saat melewati serangkaian stand yang dinilai menarik, saya terlupa unit
A. Hingga saya sadar bahwa unit yang saya (akan) ikuti lumayan banyak J jadilah rencana untuk
mengikuti unit A tidak terealisasikan.
Kebiasaan 3: Put First Think First
Dahulukan
yang utama. Disini saya belajar membuat skala prioritas yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi. Termasuk memilah dan memilih kegiatan apa yang paling
mendukung prioritas saya. Kebiasaan ini lumayan banyak saya terapkan di
keseharian, yaitu:
Ketika
seorang teman mengajak pergi jalan-jalan, dimana hari esoknya saya akan ada
quiz. Dengan tanpa mengurangi rasa saling menghargai, saya berusaha menolak
selembut mungkin yang saya bisa (intinya agar teman saya dapat mengerti).
Sehingga pertemanan aman, dan persiapan untuk quiz pun lancar J.
Ketika
saya memilih membalas sms yang menurut saya lebih penting (entah penting bagi
saya ataupun bagi si pengirimàmisal
berupa pertanyaan tentang mata kuliah dan sebagainya). Jadi sms yang kurang
penting (dalam artian tidak terlalu membutuhkan jawaban sesegera mungkin)
menunggu waktu yang tepat untuk membalasnya. Memang sih sederhana jika dipikir-pikir.
Tapi ternyata sangat berguna bagi saya. Karena coba kita bayangkan, ketika ada
teman kita (teman akrab) yang mengirim sms sekadarnya seperti “hello wind..”,
“hei wind..”, dan pada saat itu kita sedang disibukkan oleh suatu pekerjaan.
Jika kita membalas dengan hanya sekadarnya pula, rasanya kurang baik juga kan.
ujung-ujungnya percakapan garing abis, hanya seputar ‘ya..” “hei juga..” atau
apalah yang kurang berwarna J.
Bukankah si penerima pesan juga bawaannya uring-uringan? Jadi lebih baik
menunggu waktu yang lebih tepat agar percakapan kita dengan teman kita lebih
berwarna (meski hanya lewat pesan singkat saja)
Kebiasaan 4: Think Win-Win
Berpikir
menang-menang. Pada intinya kita akan lebih puas jika bersama-sama. Karena apa
sih yang lebih membahagiakan jika orang lain bahagia saat kita bahagia? (dalam
kehidupan bermasyarakat, bukan pada saat lomba J). Nah, di kebiasaan ini sebenarnya kita
diajarkan untuk tidak hanya memikirkan kemenangan diri sendiri saja, namun juga
orang lain. Walau bagaimanapun juga, kita toh makhluk sosial, bukan?
Penerapannya saya lakukan ketika saya memilih untuk membawa payung atau ponco.
Keduanya sama-sama melindungi saya dari hujan. Hanya saja yang membuat mereka
berbeda adalah muatan yang dilindungi. Kalau saya membawa payung, bisa jadi
saya berada pada kondisi yang banyak orang. Rasa tidak enak pasti akan muncul
ketika saya memakai payung sedangkan yang lainnya tidak. Akhirnya saya
memutuskan untuk membawa ponco. Karena bila satu kehujanan, yang lainnya juga.
Bila yang lainnya aman dari hujan, maka yang lain juga demikian J.
Kebiasaan 5: Seek First To Be Understad Then To Understood
Ya,
memahami terlebih dahulu baru dipahami. Hal ini sesuai dengan sebuah kalimat
bijak: jika kita ingin dihargai, maka hargailah dulu orang lain. Sama halnya
dengan, jika kita ingin diingat orang lain, maka ingatlah dulu orang lain. Jadi
pada intinya kita belajar saling memahami dan mengerti orang lain baru kita lah
yang akan dipahami dan dimengerti oleh mereka. Dan itu tanpa kita minta.
Salah
satu penerapan dari kebiasaan ini adalah menjadi pendengar yang baik bagi orang
lain. Ketika itu teman saya, katakanlah si B. Dia sedang dipusingkan dengan dua
pilihan. Datang ke unit ataukah mengerjakan tugas yang belum selesai. Saya
hanya bisa memberi saran dengan keuntungan dan kerugiannya. Jika datang unit,
maka dia akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengerjakan tugas. Namun,
jika merasa tugas itu mampu diselesaikan dalam waktu relatif singkat, maka
datang ke unit pun tak jadi masalah. Itulah saran yang saya berikan.
Satu
lagi. Dari kebiasaaan ini saya belajar berkomunikasi yang baik dengan orang
lain. Sehingga saya dapat mengatasi hambatan dalam berkomunikasi, seperti;
memikirkan hal lain saat orang lain berbicara dengan kita, sibuk dengan
handphone saat orang lain ingin berbicara dengan kita, bahkan terkadang mereka
bertanya pun tidak kita hiraukan. Jadi saya mencoba menghindari hal-hal kecil
namun menjadi penghambat bagi kita untuk memahami orang lain.
Kebiasaan 6:
Mewujudkan Sinergi
Nah
di kebiasaan ini sebenarnya secara tidak langsung kita harus memegang kebiasaan
4 dan 5. Karena untuk mewujudkan sinergi kita harus memiliki perilaku
menang-menang, memahami terlebih dahulu sebelum dipahami, dan mempercayai bahwa
bersama-sama menghasilkan lebih banyak dibanding sendirian. Bukti nyata
tindakan saya dalam menerapkan kebiasaan ini yaitu ketika seorang dosen memberi
tugas pada kelompok saya untuk membuat sebuah laporan. Dulu kami berpikir bahwa
satu orang saja cukup untuk mencari bahan. Namun kami mencoba merubahnya.
Sekaligus untuk menerapkan kebiasaan 6 ini. Jadi setiap anggota kelompok kami akan
mencari data masing-masing, lalu akan digabung menjadi satu. Alhasil, memang
lebih banyak dan bervariasi. Itulah yang membuat banyak ide yang tertuang
sehingga tugas kelompok terasa asyik J
Kebiasaan 7:
Asahlah gergaji
Mungkin
sedikit implisit makna kalimat itu. Namun setelah dipiki-pikir, sebenarnya dari
kebiasaan 7 ini kita belajar membaharukan diri. Mulai dari tubuh, pikiran, hati
dan jiwa kita. Kita perlu memberi warna baru dalam hidup kita agar tidak terasa
monoton. Karena kita tahu, monoton itu limit mendekati membosankan J
Bentuk
penerapan saya dari kebiasaan 7 ini sederhana saja. Mengingat stasus saya
sebagai mahasiswa baru, pembaharuan-pembaharuan yang saya lakukann lebih kepada
bagaimana mengasah kemampuan akademik: mengubah paradigma belajar. Dulu di SMA
terbiasa mendapat PR dari guru. Sekarang sepertinya saya harus mencari PR
sendiri. Guru bisa menjadi dosen, namun dosen bukanlah guru J. Kedua, saya membaharui
kebiasaan menyenangkan selain belajar, yaitu ber-unit, mengasah keterampilan
mulai dari berbicara (meski terkadang susah), berkomunikasi dengan orang lain.
Satu lagi. Saya membaharui pengetahuan-pengetahuan umum saya. Seperti
mengetahui info-info seputar kampus atau di fakultas. Hal ini saya lakukan agar
saat berkomunikasi dengan orang lain dapat selaras ;) kasarannya sih supaya
nyambung aja. J
Nah,
itulah perjalanan saya dalam menerapkan 7 Habits selama 30 hari. Saya ingin
menjamin bahwa kebiasaan itu akan diusahakan untuk tetap berjalan, mengingat
manfaat yang saya dapatkan dari kebiasaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar